Langsung ke konten utama

"Selamat Tinggal, Madrasahku"

(Memori akhir sekolah, part 1)





bismillaah..
Hari ini ku bergetar, karena aku mengingat lagi memori akhir sekolahku. Ya, sekitar dua tahun lalu. Kenangan-kenangan itu, walau hanya delapan bulan saja, tetapi cukup menjadi kenangan terindah dalam hidupku. Kenangan yang rasanya masih ingin diulangi, masih ingin disyukuri, dan masih ingin diresapi. Ini bukan kenangan tentang cinta, tetapi tentang sekolah yang sangat berjasa dan bersahaja. Yuk kita telusuri kisahku ini, kenanganku..

Hari itu, Sabtu, 8 September 2012, kalau tidak salah, hari ketujuh aku melakukan sholat istikharah, jam 3 dini hari. Setiap hari, aku lakukan itu dengan tekun, di jam yang sama, rakaat yang sama, dan dengan tangis dan sendu yang sama, serta doa yang sama pula. Doa-doa itu ku sertai dengan nadzar yang telah ku sebut-sebut di hadapan keluargaku. Lima nadzar yang aku ungkapkan yaitu:
  1. Aku akan puasa Daud sampai menikah (kecuali haid)
  2. Aku akan shalat malam, shalat dhuha', dan berjamaah
  3. Akan konsentrasi hafalan sampai 30 Juz, konsentrasi belajar di sekolah baru dan di rumah
  4. Akan berbakti kepada Abah dan Umi dan tidak keluar kalau tidak penting
  5. Bersedia membantu SPP dengan uang jajan dari Abah.

Apakah gerangan yang ku "istikharoh"kan itu, bahkan sampai di-nadzar? Tidak lain, karena hatiku merasa gundah di madrasah itu. Gundah akibat adanya kegiatan siswa kelas XII yang harus mengikuti acara sholawat nariyahan keliling rumah teman-teman setiap hari Jumat. Gundah akibat diancam tidak akan lulus jika tidak mengikutinya. Gundah akibat guru BP yang selalu menyindir aqidahku. Gundah akibat nilai-nilaiku yang rendah, padahal usahaku maksimal. Gundah dengan segala kecurangan dan keburukan yang ada di madrasahku dulu. Itu semua membuatku tersedu. Karena tangisku yang ketujuh hari itu lebih besar dari hari-hari sebelumnya, tiba-tiba saja aku terserang kantuk yang amat sangat. Subuh masih jauh, pikirku. Maka, aku pun tertidur dengan lelap.

Dalam tidurku itu, aku bermimpi berada di dalam ruangan kelasku dulu. Di sana hanya ada aku, guru BP itu, dan sahabat yang selalu sebangku denganku. Muka guru BP tersebut, seperti biasanya, seperti saat ia mengancamku tidak lulus jika tidak ikut nariyahan. Kemudian aku berjalan menggeret kursiku, meninggalkan sahabatku Rizqi Fitriani di dalam kelas, sendirian, lalu aku keluar, dan menoleh ke dalam sebentar. Wajah sahabatku itu sendu, dan wajah guru BP itu menyesal. Namun aku tetap melangkah maju, lalu aku menemui seorang wanita yang (maaf) gemuk dan berpakaian baju olahraga dengan kerudung putihnya, ia menuangkan deterjen bubuk ke dalam tadahan telapak tanganku, dan aku menerimanya dengan senang hati. Dalam mimpiku itu, aku menyadari bahwa perempuan itu adalah guru olahraga di SMA Muhammadiyah 01 Pekajangan di Pekalongan. Dan, subuh tiba, aku terbangun dengan perasaan yang membuatku merasa mantap.

Ilustrasi

Mungkin sobat berpikir, "Ah, berlebihan. Pindah sekolah aja pake istikharoh. Tinggal ngomong orangtua kan beres." Ya, awalnya aku berpikir seperti itu. Aku sudah mencoba langsung untuk mengatakan pada kedua orangtuaku. Yaitu sekitar tiga atau dua minggu sebelum aku mencoba istikharoh. Tapi apa jawabannya? Umi marah, Abah terdiam. Mereka tidak habis pikir terhadapku, sudah kelas dua belas, dan sudah berjalan hampir dua bulan, mau ujian, baru meminta pindah sekarang? begitu pikir mereka. Nah, dari peristiwa itu, aku terus saja termenung, melamun, sedih, dan diam sampai saat mimpi itu terjadi. Aku berada di rumah dan di madrasah, rasanya hampa, aku mulai tak banyak bicara. Bukan marah, juga bukan ngambek. Aku hanya tak tahu apa yang harus ku lakukan. Mereka tahu ceritaku bahwa aku menderita dengan peraturan nariyahan di madrasah itu, bahkan mereka seminggu sebelum mimpi itu terjadi, sudah berusaha bernegosiasi dengan pengurus madrasah untuk sekedar meringankan agar aku tidak hadir di acara nariyahan, namun justru guru BP itu semakin menyindir dan mengancamku. Dan akhirnya, di hari Sabtu yang Allah takdirkan itu, aku memutuskan untuk menulis surat untuk kedua orangtuaku. Tulisan surat itu, tulus dengan tanganku, dengan hatiku, dan kemantapanku.

lembar 1


Lembar 2
 Saat itu, aku sisipi uang jajan bulananku di dalam surat yang ku lipat. Pukul enam pagi, aku taruh surat itu di meja kecil yang ada di tengah rumah. Aku pasrah kepada Allah apakah mereka akan menanggapi suratku itu. Jika mimpi itu benar, jika mimpi itu jawaban dariMu, maka Engkau pasti memudahkan. Nah, aku sengaja berangkat di pagi buta, dengan sepedaku. Di jalan, aku hanya bisa tetap merenung, berdoa, dan tawakkal pada Allah.

Di kelas, aku duduk di bangku nomer empat, regu nomor dua dari kanan. Kebetulan, hari itu ada pelajaran Aswaja namanya, yang diampu oleh guru BP tersebut. Pagi itu, saat pelajaran beliau, suasana kelas tiba-tiba menegang. Ia berkicau tentang nariyahan. Sedang pikiranku, melambung ke arah lain, ke arah surat itu, apakah dibaca atau tidak. Aku juga teringat kisah-kisah yang dituturkan oleh guru BP tersebut di minggu-minggu yang lalu, di awal kami masuk kelas XII, "Dulu, ada kakak kelas kalian tidak ikut nariyahan, hanya dia saja, dan ternyata dia tidak lulus sendiri." Ah, saat itu aku takut membayangkannya, akhirnya aku berhenti melamun. Terlebih ketika aku mendengar pertanyaan yang tajam saat itu, Sabtu, 8 September 2012, "Siapa yang Jumat kemarin tidak ikut nariyahan?! Ikut semua kan?!" Teman-temanku tidak berani menjawab karena mereka tahu hanya aku yang tidak ikut. "Kok diem semua ini?! Ada absennya kan? Awas aja kalo ada yang tidak ikut. Tak kewoki!" Duaarr..hatiku rasanya sakit. Apalagi ia mengatakannya dengan pandangan mata yang tajam ke arahku. Kamu tahu arti dikewoki dalam bahasa Jawa? Bukankah artinya ditinju atau dianiaya atau sejenisnya? Tapi aku tidak menangis, aku kuat, dan aku percaya Allah akan membukakan jalan. Aku menoleh ke arah kiri, sahabatku Rizqi tertunduk lesu di mejanya, ia menangis tersedu tanpa suara. Dia berbisik, "Bibah...huhuhu, udah kamu pindah aja. Aku nggak tega kamu digituin terus..hiks,hiks." Aku hanya tersenyum perih. Tapi anehnya, aku tidak begitu sedih, entah mengapa aku begitu yakin bahwa itu adalah hari terakhirku. Aku akan meninggalkan qiqi', sahabatku yang paling setia. Ini salah satu foto yang masih ada dan ku abadikan sebagai kenang-kenangan, dan bukti bahwa kita pernah bersahabat, dan bahkan mereka menjuluki kita "soulmate sejati".


in memoriam, miss you..

Pelajaran guru itu pun usai. Qiqi' terus saja menangis. Langit tiba-tiba mendung, persis seperti yang ada dalam mimpiku itu. Muka masamnya guru itu sebelum meninggalkan ruang kelas, juga sama persis. Hmm, benarkah akan terjadi? Tiba-tiba, aku seperti melihat Umi melintas membawa berkas, tapi mungkin itu hanya khayalku. Namun, sesaat kemudian, seorang temanku dari luar memanggilku, "Syarifah, kamu dipanggil Bu Sop," katanya. Bu Sop atau Bu Sofanah, adalah wali kelasku di kelas duabelas. Aku heran, tapi rasanya sesuatu akan terjadi. Kemudian, aku pergi ke kantor guru putri. Bu Sop menggiringku masuk di ruang UKS di sebelahnya yang sepi. Ia tak langsung berbicara, matanya memerah dan berair. "Syarifah kenapa?", katanya dengan suara serak namun pelan. "Maksudnya apa, Bu? Ada apa ya saya dipanggil ke sini?" Jawabku. Padahal, dalam hati perasaan itu makin kuat. "Eman-eman Syarifah, tinggal enam bulan, ada apa?" Bu Sop langsung masuk ke inti pembicaraan. Aku hanya menjawab, tanpa kejujuran, "Tidak apa-apa, Ibu. Orangtua saya yang menghendaki pindah." Begitulah percakapan kami. Bu wali kelasku itu, mungkin merasa menyesal. Tapi aku tidak sedih, aku lega, alhamdulillaah.

Nah, saat di kelas, jam 12, bu Eka, guru fisikaku dari kelas sepuluh, datang menghampiriku, beliau berkata, "Kamu mau pindah Syarifah?", tanyanya langsung. "Aku nggak tahu, Bu." Jawabku. "Lho kok nggak tahu? Tadi pagi Umimu ke sini." Percakapan ini, sudah yang kedua kalinya, membuatku yakin aku benar-benar akan pindah.

Maka, saat pelajaran hari itu usai, sebelumnya aku sudah memberi pengumuman agar jangan ada yang pulang dulu. Mereka tidak tahu, mengapa aku tiba-tiba berpesan seperti itu. Lalu, Aku berdiri di depan kelas. Sebelum berkata-kata, entah mengapa air mataku menetes deras. Teman-temanku keheranan, "Habibah kenapa kok nangis? Kami salah ya?" salah seorang menimpali. Ya, memang aku sadar mereka beberapa minggu ini mendiamkan aku dan bersikap berbeda padaku. Tapi, aku tak perduli lagi. Aku hanya ingin menyampaikan salam perpisahanku.

Kawan..Hari ini adalah hari terakhirku di sekolah ini.
Habibah minta maaf jika selama ini Habibah banyak salah.
Habibah sadar sekali banyak kekurangan.

Kawan..Hari ini adalah hari terakhirku menatap kalian semua.
Aku maafkan segala sikap kalian.
Aku telah relakan dan ikhlaskan segala kesalahan kalian.

Mungkin esok, kalian tak dapat melihatku lagi di tempat ini, di kelas ini.
Tapi, kita sama-sama akan berjuang menghadapi UN.
Kita nggak boleh sedih, dan kita harus tetep semangat.
Kita saling mendoakan, saling memaafkan.
Terakhir, Habibah hanya minta maaf..
Habibah harus pergi..
dan cukup sampai di sini Kisah kita.

Begitulah kiranya yang ku sampaikan dulu di depan kelas dengan tangisku yang tulus. Mereka semua ikut menangis dengan kepergianku. Salah seorang dari mereka pun berbicara,

Syarifah, maafkan kami juga ya. Maaf jika gara-gara kami, kamu jadi harus pindah.

Aku menggeleng pelan. Kali ini aku tersenyum, dengan air mata yang masih mengalir. Aku berkata, "Tak apa kawan. Bukan karena kalian aku pindah. Inilah keinginanku dan kedua orangtuaku. Aku rasa cukup salam perpisahnku ini. Selamat tinggal, kawan, aku pergi."

Akhirnya, aku pun melangkah keluar kelas, aku menuju parkiran. Aku tahu, mereka sekelas masih saja dengan tangisnya. Dan tangis itu seperti tangis penyesalan. Aku, dengan sepedaku akhirnya keluar dari gerbang hitam madrasah itu. 

Sesaat, sebelum ku kayuh sepedaku, aku menatap lagi bangunan tua tiga lantai itu. Ku ingat semua memoriku. Aku tersenyum, bahagia. Dan, aku hanya bisa berbisik dalam hati.



Selamat tinggal, kawan. Selamat tinggal, Madrasahku. Aku akan menjalani hidupku yang baru.


--To Be Continued.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suratku tentang Masa Depan

Aku terlalu sibuk untuk sekedar mencari pasangan hidup. Karena akhir cerita dunia tidak melulu soal cinta. Memutuskan untuk tetap sendiri itu pilihan. Karena cintaku terlalu besar untuk dilabuhkan pada seseorang yang belum pasti menjadi ketentuan Tuhan. Aku jatuh cinta? memang pernah. Tapi mungkin ini sebuah kesalahan yang harus ku mintakan maaf dari suamiku nanti di masa depan, karena tidak bisa menjaga hati. Guys, setia pada seseorang yang belum jelas kelihatan wajah, nama, kapan bertemunya, memang menyenangkan dan penuh tantangan. Tahu kan arti setia itu apa? Setia adalah saat kau tetap bertahan bersama dengan orang yang kau cintai di tengah-tengah godaan cinta dari orang lain. Bayangkan. Saat Tuhan membuat kita jatuh cinta pada seseorang, sedangkan orang itu belum jelas mau dengan kita, kemudian kita bertahan melupakan atau mengalihkan pikiran, demi menjaga perasaan seseorang yang Tuhan takdirkan nanti di masa depan. Baru ku sadari jika cara seperti ini indah, guys. Aku ...

TUHAN JUGA MENULIS!

Oleh: Habibah Syarifah MENULIS; Ia hanya satu kata sederhana yang siapapun bisa melakukannya. Kata tersebut memiliki awalan “Me- “ yang artinya melakukan suatu tindakan/perbuatan, dengan kata dasar “tulis”. Jika dipadukan, maka arti dari “Menulis” adalah melakukan suatu tindakan yang menghasilkan suatu tulisan. Konon, kata ini adalah kata yang paling populer, sebab digunakan oleh berbagai kalangan di dunia. Bukan hanya bertindak sebagai sebuah kata, tetapi juga sebagai sebuah tindakan yang tidak bisa tidak digunakan hampir di seluruh dunia dan bagian-bagiannya. Semua orang wajar jika menulis. Entah itu muda atau tua, tak bisa melihat atau tak dapat berbicara, sempurna atau tidak sempurna, pasti menulis. Ia seolah menjadi proses kehidupan yang biasa saja. Namun, tidak bagi orang-orang yang sadar bahwa menulis adalah nafasnya. Seperti seorang yang bisu, tak mampu berhubungan dengan siapapun tanpa membawa sebuah pena dan buku, untuk berbicara tentunya, karena tak semua orang mampu ...

Berbagi Itu Indah !!!

(Kuliner Besar, Edisi Bubur Manado dan Sambel Dabu-dabu Roa) Ehem-ehem.. Hari Sabtu, hari di mana aku tidak punya jadwal puasa, dan temen kamarku dulu di Ma'had juga mau dateng. Ceritanya juga, aku lagi jenuh dan suntuk dengan tugas-tugas yang membeludak, juga karena lagi kangen suasana makan di rumah, dan emang pengen masak besar serta berbagi kekenyangan ^_^, akhirnya, dari hari Rabu udah ngerencanain bakal bikin bubur Manado spesial, makanannya orang sulawesi dan dabu-dabu roa. Aslinya sih, mau ada tambahan Jamur Crispy, tapi berhubung di pasar nggak ketemu, jadi dibatalkan jamurnya ^_^ Nah, simak yuk kisahnya. Pagi hari, Sabtu (29 November 2014), aku bergegas mencatat seluruh bahan yang dibutuhkan untuk membuat bubur Manado. Awalnya sih, hanya mencoba mengingat apa yang telah ku lihat dulu ketika masak bubur Manado di rumah. Tapi, ngerasa enggan pake ceker karena aku agak gimana gitu  sama ceker ayam, hehe. Malam harinya juga aku udah coba-coba liat youtube biar n...